Sinergi Sehat Indonesia

Membangun Komunikasi Orang Tua–Remaja untuk Edukasi Seks dan HIV

Di Indonesia, topik seksualitas dan HIV masih dianggap tabu oleh banyak keluarga. Akibatnya, remaja mencari informasi dari sumber tidak resmi atau keliru, meningkatkan risiko perilaku seksual berisiko dan penularan HIV. Di Kabupaten Sukabumi (2025), misalnya, sekitar 30 % kasus baru HIV terjadi pada kelompok usia 15–24 tahun—dan tabu dalam keluarga jadi faktor utama penyebab rendahnya edukasi seksual dini.

Dampak Komunikasi yang Tidak Terbuka

Berdasarkan studi di SMA Negeri 3 Jember, pola komunikasi orang tua–remaja tentang seks dan HIV menunjukkan skor rendah—indikator adanya hambatan budaya dan ketidaknyamanan dalam berbicara hal-hal sensitif. Begitu pula di SMA Tunas Harapan Jakarta: rendahnya komunikasi terbuka menyumbang perilaku seksual berisiko lebih tinggi di kalangan remaja.

Mengapa Komunikasi Terbuka Itu Penting

Penelitian nasional (IDHS 2017) menunjukkan hanya sekitar 14 % remaja memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV, dan sebagian besar masih menyimpan sikap stigma terhadap ODHA. Studi lanjutan menyatakan bahwa remaja yang bisa berdiskusi terbuka tentang kesehatan reproduksi dalam jaringan sosialnya memiliki tingkat pengetahuan HIV yang lebih tinggi dan sikap yang lebih tidak menstigmatisasi.

Strategi Membangun Percakapan Keluarga

  • Memulai secara bertahap dan alami: Mulai dari diskusi ringan yang relevan: pubertas, perubahan tubuh, hingga pertanyaan sederhana tentang keamanan seks.
  • Buka dialog bukan sermon: Bangun suasana percakapan yang nyaman agar remaja merasa didengar, bukan dihakimi.
  • Peran ibu penting: Studi dari Poltekkes Bandung menemukan bahwa sikap ibu sangat memengaruhi sejauh mana edukasi seksual sampai ke anaknya. Sikap ibu berkorelasi dengan pemberian pengetahuan tentang seks pada remaja awal (usia 10–12 tahun).

Kolaborasi dengan Sekolah dan Komunitas

Edukasi reproduksi dan HIV efektif jika dilakukan bersama: orang tua, sekolah, dan lembaga kesehatan. Kolaborasi ini membantu menyelaraskan materi edukasi serta membuka ruang atmosfer terbuka yang lebih besar bagi remaja.

Dari Tabu ke Terbuka: Mengubah Norma Budaya

Budaya yang menganggap topik seks tabu (misalnya norma Jawa) perlu ditantang dengan pendekatan empati dan edukasi. Perawat, guru, atau konselor bisa memfasilitasi dialog dalam lingkup keluarga terkait edukasi seksual dan HIV, sebagai bagian dari peran masyarakat peduli kesehatan.

Kesimpulan

Intervensi pendidikan seksual dan HIV tidak cukup hanya di sekolah. Komunikasi terbuka antara orang tua–remaja adalah kunci mencegah perilaku berisiko dan stigma terhadap ODHA. Dengan membangun dialog yang santai, terbuka, dan berbasis fakta sejak dini, keluarga dapat menciptakan lingkungan aman bagi remaja untuk bertanya dan belajar. Kolaborasi yang inklusif antara keluarga, sekolah, dan komunitas menjadikan edukasi reproduksi lebih efektif serta membentuk remaja yang sadar, cerdas, dan bertanggung jawab.

Scroll to Top